Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera, permainan adu burung merpati telah menjadi bagian dari budaya masyarakat selama bertahun-tahun. Kegiatan ini sering kali melibatkan burung merpati yang diadu kecepatan terbangnya, baik dalam format balap sprint, kolong, tomprang, maupun pos. Namun, di balik keseruan dan tradisi yang melekat, permainan ini sering kali dikaitkan dengan praktik perjudian, yang menimbulkan kontroversi hukum, sosial, dan moral. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang permainan judi adu burung merpati, sejarahnya, mekanisme permainan, dampaknya, serta pandangan hukum dan masyarakat terhadap praktik ini.
Adu burung merpati bukanlah fenomena baru. Kegiatan ini memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sejak masa Jawa Kuno. Berdasarkan informasi sejarah, adu burung merpati telah disebutkan dalam Prasasti Waharu Kuti pada masa Jawa Kuno, menunjukkan bahwa praktik ini sudah ada sejak abad ke-8 hingga ke-13. Pada masa itu, perjudian dalam berbagai bentuk, termasuk adu burung merpati, diatur oleh pemerintah setempat dengan pejabat khusus yang disebut malandang atau juru judi, yang bertugas mengawasi dan menarik pajak dari aktivitas perjudian. Hal ini menunjukkan bahwa adu burung merpati tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah pada masa itu.
Di era modern, adu burung merpati tetap bertahan, terutama di daerah-daerah seperti Jawa Timur (Surabaya, Gresik, Lamongan), Sumatera Selatan, dan Tegal. Kegiatan ini sering diadakan pada hari libur, seperti hari Minggu, dan melibatkan berbagai kalangan, mulai dari milenial hingga lansia. Meskipun awalnya dimaksudkan sebagai hiburan dan ajang melestarikan budaya, praktik ini sering kali berubah menjadi ajang perjudian, yang dikenal sebagai “adu doro” di kalangan masyarakat Surabaya.
Permainan adu burung merpati pada dasarnya adalah lomba kecepatan terbang. Ada beberapa jenis permainan yang populer di Indonesia, seperti:
- Merpati Balap Sprint
Dalam format ini, burung merpati diadu kecepatan terbangnya secara lurus dengan jarak tertentu, biasanya 300 hingga 1.200 meter. Joki memegang burung betina untuk menarik perhatian burung jantan, yang dilepaskan dari jarak tertentu. Burung yang lebih dulu sampai ke betina atau ditangkap joki dinyatakan sebagai pemenang. - Merpati Kolong
Jenis ini melibatkan burung merpati yang diadu kecepatan dan manuver terbangnya di ketinggian. Terdapat empat tiang dengan tali berbentuk segi empat (kolong) di atasnya. Burung harus melewati kolong tersebut dan mendarat di dasar yang telah disediakan. Jarak lepasan biasanya 1–2 km, dan burung yang lebih dulu mendarat dengan benar dinyatakan menang. - Merpati Tomprang
Mirip dengan balap sprint, tetapi jaraknya lebih jauh (4–7 km) dan tidak menggunakan tiang atau tali. Burung yang lebih dulu mendarat di area geber (tempat pendaratan) dinyatakan sebagai pemenang. Permainan ini populer di Sumatera Selatan. - Merpati Pos
Permainan ini melibatkan burung merpati yang dilepaskan dari jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Burung dengan waktu tempuh tercepat untuk kembali ke kandangnya dinyatakan menang.
Dalam praktik perjudian, peserta biasanya memasang taruhan pada burung yang mereka yakini akan menang. Taruhan ini bisa bervariasi, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah per putaran. Pemenang mendapatkan uang taruhan, sementara yang kalah kehilangan uangnya. Selain itu, burung merpati yang sering menang bisa memiliki nilai jual yang sangat tinggi, bahkan mencapai miliaran rupiah, seperti burung merpati bernama Rampok yang terjual seharga Rp1,7 miliar di Tegal pada 2023.
Meskipun adu burung merpati bisa menjadi hiburan yang sah, keberadaan taruhan membuatnya masuk dalam kategori perjudian. Menurut hukum di Indonesia, perjudian diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mendefinisikan perjudian sebagai “tiap-tiap permainan yang pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir.” Dalam konteks adu burung merpati, unsur peruntungan sangat dominan karena kecepatan burung tidak sepenuhnya dapat diprediksi, meskipun pelatihan dan keahlian joki memainkan peran penting.
Sebuah kasus di Pengadilan Negeri Jember pada 2012 (Putusan Nomor 872/Pid.B/2012/PN.Jr.) menunjukkan bahwa adu burung merpati yang melibatkan taruhan dianggap sebagai tindak pidana perjudian. Dalam kasus tersebut, terdakwa terbukti mengadakan adu burung merpati dengan taruhan, dan kegiatan tersebut tidak memiliki izin dari pihak berwenang. Hal ini menegaskan bahwa adu burung merpati yang melibatkan taruhan uang jelas melanggar hukum di Indonesia.
Adu burung merpati yang melibatkan perjudian memiliki dampak yang beragam, baik positif maupun negatif.
Dampak Positif:
- Ekonomi: Kegiatan ini dapat memberikan efek ekonomi bagi masyarakat sekitar. Seperti yang disebutkan dalam lomba balap merpati kolong di Tegal pada 2023, acara tersebut melibatkan pelaku UMKM, seperti penjual makanan, minuman, dan peternak merpati, yang mendapatkan keuntungan dari keramaian.
- Pelestarian Budaya: Di beberapa daerah, seperti Gresik, adu burung merpati dianggap sebagai cara untuk melestarikan budaya tradisional yang telah ada sejak zaman kolonial.
Dampak Negatif:
- Gangguan Ketertiban: Banyak masyarakat yang merasa terganggu dengan keramaian dan kebisingan yang ditimbulkan oleh kegiatan ini, terutama jika dilakukan di area pemukiman. Di Surabaya, misalnya, warga sering mengeluhkan adu burung merpati di kawasan Ploso, Bronggalan, yang akhirnya dibubarkan oleh petugas pada 2021.
- Kerugian Finansial: Bagi penjudi, kekalahan dalam taruhan bisa menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, bahkan memicu utang dan masalah ekonomi lainnya.
- Konflik Sosial: Perjudian sering kali memicu konflik antarpeserta, terutama jika ada kecurangan atau ketidakpuasan terhadap hasil lomba.
Dari sisi hukum, perjudian adu burung merpati jelas dilarang di Indonesia berdasarkan Pasal 303 KUHP dan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Hukuman bagi pelaku perjudian bisa mencapai penjara hingga 10 tahun atau denda hingga Rp25 juta (sesuai KUHP lama; UU baru mungkin memiliki penyesuaian). Selain itu, penegakan hukum terhadap praktik ini sering kali dilakukan, seperti penggerebekan di Surabaya pada 2021, di mana petugas membongkar dan membakar kandang burung merpati yang digunakan untuk judi.
Dari perspektif agama, khususnya Islam, perjudian (qimar) diharamkan berdasarkan Al-Qur’an (Surah Al-Ma’idah: 90–91). Dalam pandangan fiqih, permainan adu burung merpati tanpa taruhan dianggap makruh karena dianggap tidak memiliki manfaat yang jelas dan dapat membuang waktu. Namun, jika melibatkan taruhan, hukumnya menjadi haram karena termasuk dalam kategori maysir (perjudian).
Pemerintah dan masyarakat telah berupaya menangani praktik perjudian adu burung merpati dengan berbagai cara, seperti:
- Penegakan Hukum: Penggerebekan dan pembubaran arena judi, seperti yang dilakukan di Surabaya dan Jember.
- Sosialisasi: Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak negatif perjudian.
- Alternatif Hiburan: Mengadakan lomba burung merpati tanpa unsur taruhan, seperti yang dilakukan di Tegal pada 2023, di mana pemenang mendapatkan hadiah resmi berupa uang tunai dan piagam, bukan dari taruhan.
Sebagai alternatif, permainan adu burung merpati dapat diarahkan menjadi kegiatan olahraga atau budaya yang positif, seperti lomba resmi dengan regulasi ketat yang melarang taruhan. Hal ini dapat mempertahankan nilai budaya sekaligus menghindari dampak negatif perjudian.
Permainan adu burung merpati adalah tradisi yang telah mengakar di masyarakat Indonesia, dengan sejarah panjang sejak masa Jawa Kuno. Namun, ketika melibatkan unsur perjudian, kegiatan ini menjadi kontroversial karena melanggar hukum, menimbulkan dampak sosial negatif, dan bertentangan dengan nilai agama. Meskipun memiliki potensi ekonomi dan budaya, praktik perjudian dalam adu burung merpati perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan masyarakat. Dengan penegakan hukum yang tegas, sosialisasi, dan pengalihan ke kegiatan yang lebih positif, tradisi ini dapat tetap lestari tanpa harus dikaitkan dengan perjudian. Bagi kamu yang memiliki Rp50 juta dan ingin berinvestasi, seperti yang kita bahas sebelumnya, lebih baik alokasikan dana tersebut ke instrumen yang aman dan produktif, seperti usaha kecil atau emas digital, daripada terlibat dalam aktivitas berisiko seperti perjudian adu burung merpati.