Adu kerbau, atau yang dikenal sebagai Mapasilaga Tedong dalam bahasa Toraja, adalah salah satu tradisi unik masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara adat Rambu Solo’, sebuah ritual pemakaman megah yang menjadi simbol penghormatan kepada leluhur dan status sosial keluarga. Namun, di balik nilai budaya dan kebersamaan yang diusung, adu kerbau juga menuai kontroversi karena sering dikaitkan dengan praktik perjudian, kekerasan terhadap hewan, dan tantangan penegakan hukum. Artikel ini akan mengulas sejarah, makna budaya, pelaksanaan, serta isu-isu yang menyertai tradisi adu kerbau Toraja, dengan perspektif kritis terhadap narasi yang ada pada tahun 2025.
Tradisi adu kerbau di Tana Toraja berakar dari kepercayaan masyarakat setempat terhadap hubungan antara dunia manusia dan alam roh. Dalam budaya Toraja, kerbau—atau tedong—bukan sekadar hewan ternak, melainkan simbol kemakmuran, prestise, dan kekuatan spiritual. Kerbau dianggap sebagai “kendaraan suci” yang mengantarkan arwah orang yang meninggal ke puya, yaitu alam roh atau surga dalam kepercayaan Aluk Todolo, agama leluhur masyarakat Toraja. Semakin banyak dan berkualitas kerbau yang dikurbankan dalam Rambu Solo’, semakin mulia perjalanan arwah tersebut.
Adu kerbau, atau Mapasilaga Tedong, awalnya dimaksudkan sebagai hiburan bagi keluarga yang berduka sekaligus simbol keberanian dan penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini juga mencerminkan nilai kebersamaan, di mana daging kerbau yang telah diadu dan disembelih dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk solidaritas sosial. Kerbau yang digunakan biasanya adalah jenis khusus, seperti Tedong Bonga (kerbau albino) atau Tedong Saleko (kerbau dengan bercak hitam), yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah—bahkan hingga miliaran untuk kerbau juara. Harga ini menjadikan kerbau sebagai lambang status sosial, di mana keluarga yang mampu menyediakan banyak kerbau dianggap memiliki kekayaan dan kehormatan tinggi.
Secara historis, adu kerbau telah ada sejak ratusan tahun lalu, meskipun bentuknya terus berkembang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tradisi ini mulai terorganisir secara lebih modern setelah tahun 2000, dengan pengaruh dari praktik serupa di Vietnam. Komunitas seperti Komunitas Pencinta Tedong Silaga (KPTS), yang memiliki puluhan ribu pengikut di media sosial, menjadi wadah bagi para penggemar untuk mengatur pertandingan, menentukan lawan, dan bahkan memberikan nama-nama unik pada kerbau petarung, seperti “Spartan,” “Syahrini,” atau “Hammer.”
Adu kerbau biasanya digelar di lapangan terbuka yang berlumpur, sering kali dalam kondisi basah untuk menambah dramatisasi pertarungan. Sebelum pertandingan dimulai, kerbau-kerbau petarung diarak keliling arena dalam sebuah prosesi adat yang melibatkan keluarga yang berduka, pemandu kerbau, pembawa gong, dan umbul-umbul. Prosesi ini diiringi dengan pemberian daging babi bakar, rokok, dan tuak (minuman fermentasi tradisional) kepada para tamu dan penonton sebagai simbol kebersamaan.
Kerbau yang akan bertarung dipilih berdasarkan kriteria ketat, seperti bentuk fisik, kekuatan, panjang tanduk, dan pengalaman bertarung. Mereka dibagi ke dalam kelas-kelas: kelas berat (untuk kerbau berpengalaman yang bisa mematikan lawan), kelas menengah (kerbau dengan 10–15 kali pengalaman bertarung), dan kelas pemula. Kerbau-kerbau ini sering kali didatangkan dari berbagai daerah, seperti Sumatra, Lombok, Kalimantan, atau Luwuk, dan dipersiapkan dengan perawatan khusus, termasuk pemberian susu dan telur ayam setiap hari untuk menjaga kekuatan fisiknya.
Pertarungan dimulai ketika dua kerbau dilepas dari sudut arena yang berbeda. Pemandu kerbau bertugas memastikan mereka bertarung dengan lawan yang tepat, meskipun tak jarang kerbau melarikan diri ke arah penonton, menciptakan suasana kacau sekaligus mendebarkan. Pertarungan berlangsung hingga salah satu kerbau menyerah atau melarikan diri, yang dianggap sebagai tanda kekalahan. Dalam beberapa kasus, pertarungan bisa berakhir dengan kematian salah satu kerbau, terutama di kelas berat, di mana kerbau bertarung hingga berlumuran darah.
Setelah pertandingan, kerbau yang telah diadu biasanya disembelih dalam ritual Ma’tinggoro Tedong. Penyembelihan dilakukan dengan satu tebasan golok tajam sebagai simbol ketepatan dan penghormatan. Dagingnya kemudian dibagikan kepada masyarakat, memperkuat nilai kebersamaan dalam tradisi ini. Namun, di balik kemeriahan ini, adu kerbau juga menyimpan sisi gelap yang sering kali luput dari sorotan.
Salah satu isu terbesar yang mewarnai adu kerbau adalah maraknya praktik perjudian. Meskipun Mapasilaga Tedong awalnya merupakan ritual adat, tradisi ini telah menjadi arena taruhan terbuka yang melibatkan ribuan penonton. Para petaruh, yang sering kali membawa segepok uang, bertaruh pada kerbau favorit mereka, dengan nilai taruhan yang bisa mencapai ratusan juta rupiah, terutama di kelas berat. Praktik ini sering kali diizinkan oleh panitia, meskipun ada larangan resmi dari pemerintah daerah dan gereja.
Penelitian empiris di Tana Toraja menunjukkan bahwa perjudian dalam adu kerbau dipicu oleh faktor ekonomi, seperti tingkat pengangguran yang tinggi dan minimnya lapangan pekerjaan. Banyak masyarakat Toraja, terutama di Toraja Utara, melihat judi sebagai cara cepat untuk meningkatkan taraf hidup dengan modal kecil. Namun, ini menciptakan dilema hukum, karena perjudian dilarang berdasarkan Pasal 303 KUHP di Indonesia, dengan ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun atau denda hingga Rp25 juta.
Penegakan hukum terhadap praktik ini menghadapi banyak kendala. Faktor internal seperti kurangnya personel kepolisian, koordinasi yang buruk, dan minimnya sarana di Polres Tana Toraja menjadi hambatan. Faktor eksternal, seperti budaya yang menganggap judi sebagai bagian dari tradisi, juga memperumit situasi. Banyak masyarakat Toraja memandang perjudian sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan, sehingga tindakan hukum sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap identitas adat mereka. Akibatnya, penyidikan terhadap pelaku judi adu kerbau jarang dilakukan, dan praktik ini terus berlangsung secara terang-terangan.
Kontroversi lainnya muncul pada Oktober 2024, ketika sebuah video viral menunjukkan keributan antar penonton di arena adu kerbau di To’batu, Toraja Utara. Akun media sosial “anak Tani” mengklaim bahwa keributan dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hasil taruhan, dengan suasana yang memanas hingga penonton saling kejar dan mengambil batang pohon untuk menyerang. Namun, Kapolres Toraja Utara, AKBP Zulanda, membantah bahwa keributan terkait judi, mengatakan bahwa itu adalah ekspresi kegembiraan setelah kerbau salah satu pihak menang, sesuai tradisi sisemba’. Narasi ini menunjukkan betapa kompleksnya isu ini: di satu sisi, ada upaya untuk melindungi tradisi, tetapi di sisi lain, praktik judi sulit dipisahkan dari acara tersebut.
Adu kerbau Toraja mencerminkan ketegangan antara pelestarian budaya dan nilai-nilai modern, termasuk hukum dan etika. Dari sudut pandang budaya, Mapasilaga Tedong adalah simbol identitas Toraja yang memperkuat solidaritas sosial dan penghormatan kepada leluhur. Namun, praktik perjudian yang menyertainya menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar bagian dari tradisi, atau hanya konstruksi modern yang memanfaatkan adat untuk kepentingan ekonomi?
Beberapa peneliti, seperti Agustinus Sem Porak Tangkeliku dalam disertasinya pada 2023, berpendapat bahwa judi dalam adu kerbau adalah fenomena yang berkembang seiring perubahan sosial di Toraja. Ritual Rambu Solo’ yang semakin mewah menjadi cerminan perubahan struktur sosial, di mana status ekonomi dan prestise keluarga lebih ditekankan. Judi, dalam hal ini, menjadi “jendela” untuk melihat bagaimana tradisi direproduksi oleh aktor-aktor tertentu untuk menegaskan identitas mereka sebagai “pencinta tedong silaga,” sekaligus melegitimasi praktik yang sebenarnya dilarang oleh hukum dan agama.
Selain itu, adu kerbau juga menuai kritik dari perspektif kesejahteraan hewan. Pertarungan yang sering kali berakhir dengan kematian atau luka parah pada kerbau dianggap sebagai bentuk kekerasan yang tidak lagi relevan di era modern. Meskipun masyarakat Toraja memandang kerbau sebagai hewan suci, praktik ini tetap memicu perdebatan etis tentang bagaimana tradisi dapat diadaptasi tanpa kehilangan makna budayanya.
Pada tahun 2025, adu kerbau Toraja tetap menjadi daya tarik budaya yang kuat, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan. Tradisi ini tidak hanya melestarikan identitas Toraja, tetapi juga menjadi magnet pariwisata yang mendatangkan pendapatan bagi daerah. Namun, tantangan seperti perjudian, penegakan hukum, dan isu kesejahteraan hewan terus membayangi. Pemerintah daerah dihadapkan pada dilema: bagaimana mengatur tradisi ini agar tetap lestari tanpa melanggar hukum atau nilai-nilai modern?
Adu kerbau Toraja adalah tradisi yang kaya akan makna budaya, tetapi juga sarat dengan kontroversi. Sebagai bagian dari Rambu Solo’, Mapasilaga Tedong mencerminkan nilai kebersamaan, penghormatan kepada leluhur, dan identitas Toraja. Namun, praktik perjudian dan kekerasan terhadap hewan menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih kritis terhadap tradisi ini. Di tengah modernisasi dan tekanan hukum, masyarakat Toraja perlu menemukan keseimbangan antara melestarikan budaya dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kontemporer, agar adu kerbau tetap menjadi simbol kebanggaan tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih luas.